Sekilas tentang Film IT 2017

Penggemar Film Horor pastinya tidak asing dengan hal - hal yang sering nampak di film - film Luar seperti Jumpscare, Musik yang menakutkan, pintu berdecit, kursi goyang atau barang - barang yang bergerak sendiri, Muncul hantu - hantu yang tiba - tiba, darah dan terikan jadi sesuatu yang sudah pasti ada atau bisa dikatakan bahan pokok pada film.


Akan tetapi, lain soal jika ceritanya berasal dari isi kepala maestro horor Stephen King. Lewat sentuhan imajinasinya, benda-benda banal sehari-hari seperti wastafel atau telefon genggam sekalipun bisa menjadi sesuatu yang ganjil.

Berbagai film telah mencoba menerjemahkan semesta aneh Stephen King ke dalam bahasa gambar. Ada yang mengecewakan secara kualitas dan komersial, ada juga yang sukses. It layak masuk golongan yang disebut terakhir.

Semua elemen horor yang lazim ditemui dikemas proporsional bahkan cenderung terlalu rapi. Dari yang paling murahan seperti jumpscare sampai yang paling membekas di ingatan seperti desain karakter sang hantu, seluruhnya membuat It utuh sebagai film horor.

Semesta karangan Stephen King sudah berada di batas antara realis dan surealis sehingga gestur dan sudut pandang kamera tidak perlulah dibuat ekstrem untuk membuatnya semakin aneh. Tengok saja ”The Dark Tower” yang tayang di bioskop beberapa waktu lalu.

Dalam It, penonton dibuat nyaman menyimak setiap detail artistik. Andy Muschietti, sang sutradara sepertinya ingin penonton berfokus pada cerita.

Desain konten seperti itu menjadi pintu masuk bagi generasi masa kini untuk mengenal monster bernama Pennywise dan jenis teror khas yang dibawanya.

Layaknya Jason Voorhees si pendiam yang tak bisa mati atau Freddy Krueger si penguasa alam mimpi, Pennywise si badut adalah monster yang mendapat ketenaran lewat budaya pop Amerika Serikat.

Pennywise adalah tokoh abadi rekaan Stephen King yang muncul dalam novel It tahun 1986. Popularitasnya meroket saat dia pertama kali hadir di layar dalam minsieri TV tahun 1990, juga dengan judul It.

Kenapa badut menyeramkan?
Lewat sosoknya, badut yang diasosiasikan dengan kegembiraan dan tawa didekonstruksi menjadi monster menyeramkan. Faktanya, toh memang tak semua anak suka badut meski dia selalu tersenyum.

Terkait hal ini, Steven Schlozman, psikiater dari Harvard Medical School yang punya ketertarikan khusus pada film horor mengutarakan pandangannya. Menurutnya, badut seram karena banyak sebab mulai dari bentuk wajah tidak natural sampai pengalaman traumatis masa kecil.

Menariknya, dia menilai badut seram karena punya salah satu unsur horor paling fundamental yaitu senyum palsu. Saat kita mengenali sebuah senyuman, otak kita megolah informasi bahwa senyum berkaitan dengan sesuatu yang baik. Namun kemudian kita menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dan salah kalau orang tersenyum sepanjang waktu tanpa alasan.

Hal yang sama juga berlaku untuk badut. Jika direnungkan, pendapat itu menguatkan sebab mengapa Joker versi Heath Ledger dalam ”The Dark Knight” (2008) jauh lebih menyeramkan dibanding Joker versi manapun.

Maka dari itu, kalau di tempat kerja Anda, di kampus, sekolah, atau mungkin di rumah ada yang menatap Anda dengan senyuman aneh, bisa dipastikan artinya ada sesuatu yang tidak beres.

Estafet trauma
It berkisah tentang sekelompok anak umur sekira 13 tahun korban perisakan yang tinggal di kota kecil Derry, Maine, Amerika Serikat. Saat libur musim panas tiba, mereka berambisi memecahkan misteri hilangnya adik salah seorang dari mereka.

Dalam petualangannya, mereka pun dihadapkan pada fakta bahwa banyaknya orang hilang di lingkungan itu berkaitan dengan legenda sumur tua dan sosok badut menyeramkan, Pennywise (Bill Skarsgard), yang muncul rutin setiap 27 tahun sekali.

Pennywise menebar senyum. Namun di balik senyumnya, bukan kegembiraan yang dibagikan. Seumpama bawang, Pennywise hanyalah lapisan kulit terluar yang menutupi sumber ketakutan utama setiap orang, yang tentu saja berbeda-beda.

Karena teror Pennywise terus berulang secara rutin dan mengantui hampir setiap anak di sana, generasi demi generasi masyarakat Derry selalu tumbuh dalam kondisi pascatrauma. Tak pernah terputus.

Pengalaman mengerikan masa kecil mengendap dan diwariskan kepada keturunannya. Begitu seterusnya. Setiap anak adalah korban ketakutan orangtuanya yang lantas mewujud dalam bentuk pelecehan seksual, perisakan, dan rasisme. Tidak ada karakter orang dewasa yang tersenyum sepanjang film ini.

Menyimak premisnya, tidak bisa tidak, membuat kita teringat pada petualangan sekelompok anak dalam film ”Stand by Me” (1986). Kasusnya pun serupa, upaya konyol anak-anak memecahkan misteri orang hilang. Bedanya, It berbalut nuansa lebih muram dan tidak terlalu dalam menggali karakter setiap anak.

Di sisi lain, It, seperti juga ”Stand by Me”, menyadarkan kita untuk terus berusaha berdamai dengan sumber ketakutan yang meneror kita sejak kecil. Jagan pula menularkannya kepada anak. Alih-alih menjadi kenangan buruk, kita diingatkan untuk menyikapinya dengan senyum, yang semoga bukan senyuman palsu

Artikel Terkait

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »


EmoticonEmoticon